Kajian Hadis Arba’in KH. Hasyim Asy’ari: Meneropong Ad-Dīn an-Naṣīḥah
7 mins read

Kajian Hadis Arba’in KH. Hasyim Asy’ari: Meneropong Ad-Dīn an-Naṣīḥah


Ilustrasi. Desainer: Ifa

KH. Hasyim Asy‘ari, pendiri Nahdlatul Ulama (NU), melihat agama sebagai panduan hidup yang tidak hanya membangun relasi vertikal dengan Allah, tetapi juga relasi horizontal dalam masyarakat. Dalam Muqaddimah Qānūn Asāsī li Jam‘iyyah Nahdlat al-‘Ulamā’, beliau menegaskan pentingnya pertemuan, saling mengenal, dan bersatu. Semua itu merupakan pedoman hidup yang manfaatnya tidak dapat dilepaskan dari kehidupan manusia. Rasulullah saw. Bersabda: “Tangan Allah bersama al-jamā‘ah” (HR. Al-Tirmiḏī, no. 2166, ṣaḥīḥ).

Beliau juga memperingatkan bahwa setan lebih mudah menyesatkan orang yang sendirian (lihat Musnad Aḥmad, 1/114, ṣaḥīḥ), sedangkan mereka yang hidup bersama jama’ah akan lebih terlindungi, sebagaimana serigala yang memangsa kambing yang terpisah dari kelompoknya.

Dari sini dipahami bahwa manusia pada hakikatnya tidak bisa hidup sendiri. Ia pasti membutuhkan orang lain untuk memenuhi kebutuhannya. Karena itu, manusia mau tidak mau harus hidup bermasyarakat, bergaul, dan menjalin kerja sama demi mencapai kebaikan dan kebahagiaan bersama serta menghindarkan diri dari keburukan dan bahaya.

Hal serupa juga sangat nampak dalam kitabnya, Arba‘īna Ḥadīthan Tata‘allaqu bi-Mabādi’ Jam‘iyyah Nahḍat al-‘Ulamā’. Hadis pertama yang beliau tulis tidak lepas dari pentingnya menjaga relasi dengan Allah dan jamaah.

١ ـ «الدين النصيحة» ثلاثا. قلنا: لِمَنْ يا رسول الله؟ قال: «لله، ولرسوله، ولأئمة المسلمين، وعامتهم». رواه مسلم

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Meski redaksi (matan) yang beliau tulis tidak sama persis dengan riwayat Ṣaḥīḥ Muslim (1/55)—misalnya tidak terdapat kata thalāthan, yā rasūlallāh, dan li-kitābihi—redaksi yang mendekati dapat ditemukan dalam Musnad Aḥmad (28/16947). Menariknya, baik riwayat Muslim maupun Aḥmad, keduanya berstatus ṣaḥīḥ.

Konsep Naṣīḥah dalam Tradisi Pesantren

Menurut KH. Hasyim Asy‘arī, makna naṣīḥah dalam hadis tersebut mewujud nyata dalam tradisi pesantren. Seorang santri tidak hanya diajari fiqh atau hadis, melainkan juga dibimbing akhlaknya melalui nasihat langsung dari kiai.

Relasi guru-murid di pesantren adalah pengejawantahan hadis ini: agama dipahami sebagai naṣīḥah, nasihat tulus dari hati, bukan sekadar transfer pengetahuan. Dengan demikian, pesantren adalah lembaga yang menubuhkan hadis al-dīn al-naṣīḥah dalam praksis keseharian. Dalam kitabnya yang lain, Adab al-‘Ālim wa al-Muta‘allim, KH. Hasyim Asy‘ari menegaskan pentingnya adab seorang ulama dan santri, termasuk tanggung jawab mereka untuk memberi nasihat kepada pemimpin.

Nasihat kepada pemimpin bukan berarti oposisi radikal, tetapi kontrol moral agar penguasa tidak keluar dari nilai keadilan. Hal ini relevan ketika beliau memimpin perlawanan terhadap kolonial Belanda dan Jepang. Seruan Resolusi Jihad (22 Oktober 1945) adalah bentuk nyata nasīḥah dalam ranah politik: mengingatkan bangsa agar berani membela tanah air. Di sini terlihat bahwa nasīḥah dalam hadis tidak berhenti pada kata-kata, tetapi juga bisa berupa tindakan etis dan politik.

Spirit Gotong Royong dan Humanisme Pesantren

KH. Hasyim Asy‘ari hidup di masyarakat Jawa yang sarat tradisi komunal. Ia membaca hadis ini sebagai panggilan untuk menumbuhkan ukhuwah Islamiyah dan ukhuwah wathaniyah (persaudaraan kebangsaan). Memberi nasihat berarti peduli pada tetangga, ikut menjaga kerukunan desa, dan menolong fakir miskin. Bagi beliau, agama tidak boleh terasing dari denyut kehidupan sosial. Dengan kata lain, nasīḥah di tangan KH. Hasyim Asy‘ari berubah menjadi etika sosial yang membumi.

Hadis ini juga tampak hidup dalam ajaran akhlak pesantren. KH. Hasyim Asy‘ari menekankan bahwa santri harus berakhlak mulia, tawadhu‘, dan berbuat baik kepada semua orang. Nasihat kepada sesama manusia diwujudkan dalam sikap rendah hati dan pelayanan kepada masyarakat.

Dalam NU, nasīḥah dipahami bukan sekadar teguran, tapi kasih sayang yang menuntun. Seorang ulama ketika memberi nasihat tidak boleh dengan kebencian, melainkan dengan kelembutan. Hal ini sejalan dengan etos KH. Hasyim Asy‘ari untuk menegakkan agama dengan rahmat, bukan kekerasan.

Refleksi Kekinian

Jika dibaca lebih teliti, KH. Hasyim Asy‘ari menegaskan dimensi otentisitas dalam hadis ini: agama yang sejati adalah agama yang saling memurnikan hati, saling mendidik akhlak, dan saling memelihara keadilan sosial. Nasihat bukanlah sekadar kata, tetapi bentuk otentik keberagamaan—yang kadang mewujud sebagai ilmu, kadang sebagai doa, kadang sebagai perlawanan, dan kadang sebagai keteladanan hidup.

Dalam horizon filsafat modern, Jean-Paul Sartre pernah mengatakan “neraka adalah orang lain.” Ungkapan ini sering disalahpahami sekadar sebagai penolakan total terhadap kebersamaan. Padahal maksud Sartre lebih subtil: manusia merasa “disiksa” oleh tatapan orang lain yang mengobjektifikasi dirinya, sehingga ia kehilangan kebebasan otentik. Relasi sosial bagi Sartre rawan berubah menjadi penjara.

Di sisi lain, KH. Hasyim Asy‘ari memandang orang lain bukan sebagai neraka, melainkan sumber keselamatan. Hadis “ad-dīn an-naṣīḥah” menurut beliau menunjukkan bahwa agama justru hadir dalam perjumpaan, nasihat, dan kebersamaan. Manusia baru menemukan makna hidupnya dalam jamaah, bukan dalam kesendirian. Bahkan, beliau menegaskan melalui hadis lain: setan mudah menyesatkan yang sendirian, sebagaimana serigala memangsa kambing yang terpisah dari kawanannya.

Perbedaan ini menunjukkan kontras tajam antara eksistensialisme Sartre dan humanisme pesantren KH. Hasyim Asy‘ari. Jika Sartre melihat risiko keterasingan dan pengobjektifan dalam kebersamaan, KH. Hasyim justru melihat rahmat dan keselamatan di dalamnya. Namun keduanya sama-sama menyadari bahwa manusia tidak pernah netral dalam berelasi dengan orang lain. Orang lain bisa menjadi ancaman, tetapi juga bisa menjadi penopang keselamatan.

Sartre benar bahwa orang lain bisa menjadi “neraka” bila relasi itu toksik: penuh tatapan yang menilai, menundukkan, atau mengobjektifikasi kita. Hadis lain juga benar bahwa kesendirian total membuka celah bagi “serigala”—entah setan, nafsu, atau kecenderungan destruktif—untuk memangsa kita. Manusia tidak bisa hidup sendiri, tetapi tidak pula boleh larut begitu saja dalam kerumunan yang meniadakan dirinya.

Kuncinya adalah kualitas kebersamaan. Dalam bahasa hadis, itu disebut al-jamā‘ah: sebuah komunitas yang dibangun atas nilai iman, solidaritas, dan saling menolong. Di sana, “orang lain” tidak lagi menjadi neraka, melainkan penopang. Tatapan bukan lagi pengurung, melainkan pengingat. Relasi sosial tidak menenggelamkan kebebasan, justru menyalakannya ke arah yang lebih luhur.

Dengan demikian, kalimat Sartre dan sabda Nabi tidak mesti diposisikan sebagai pertentangan mutlak, tetapi sebagai dua peringatan. Hati-hati dengan kesendirian yang menjerumuskan, hati-hati pula dengan kebersamaan yang mencekik. Manusia hanya bisa menemukan “surga jamaah” ketika ia hadir dalam komunitas yang sehat, yang tidak meniadakan eksistensinya, tetapi juga tidak membiarkannya dimangsa kesepian.

Fenomena kekinian memperlihatkan paradoks ini. Banyak orang hari ini lebih nyaman sendirian dengan ponselnya. Dunia digital membuat orang menarik diri dari interaksi nyata, sekaligus menghadirkan tatapan baru yang tak kalah menekan: jumlah likes, komentar, views. Orang lain hadir bukan sebagai sahabat dalam naṣīḥah, melainkan sebagai angka yang mengobjektifikasi.

Di titik inilah KH. Hasyim Asy‘ari terasa sangat kontekstual. Jalan keluar dari keterasingan digital bukanlah tenggelam lebih dalam dalam layar, tetapi membangun kembali kebersamaan yang tulus dan tidak toksik. Pesantren dengan tradisi nasihatnya menunjukkan bahwa relasi antar manusia bisa menjadi ruang pembebasan, bukan penjara. Wallahu a’lam.

Baca Juga: Nilai Toleransi dan Persaudaraan Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari


Penulis: Achmad Fauzan

Editor: Muh. Sutan





Game Center

Game News

Review Film
Rumus Matematika
Anime Batch
Berita Terkini
Berita Terkini
Berita Terkini
Berita Terkini
review anime

Gaming Center